Mengkritisi Persoalan Politik Indonesia Terhadap Potensi Anak Muda


Patut di apresiasikan sekali ketika di tengah kekaguman rakyat akan seseorang yang dipandang integritasnya melebihi kandidat lain dalam pemilihan kepala daerah atau atau pun pemilihan presiden. Munculnya muka baru yang katakanlah bersih dan jernih dari intrik-intrik kotor dari bekas masa lalunya, apa lagi para anak muda tersebut bertolak dari latar belakang yang berbeda lalu berhasrat mengabdi pada negara dan bangsa melalui jalur politik. Sudah banyak contoh potensi anak muda yang unjuk gigi di perpolitikan tanah air bahkan dunia, untuk di indonesia sendiri mungkin sudah banyak yang mengenal Anis Baswedan (calon pilgub DKI Jakarta 2017) , lalu Anis mata (presiden PKS), serta tak ketinggalan Tifatul Sembiring (mantan menkoinfo), Imam Nahrowi (menpora) lalu yang menoreh di kelas dunia kita pun punya seorang mantan menteri luar negeri yakni Marty Natalegawa.

Mereka ini memiliki backgorund yang berbeda dan kualifikasi yang dimiliki tidaklah sama, namun kehebatan skill masing-masing di sandingkan dengan keberanian mereka untuk ikut terjun politik yang selama ini hanya di isi oleh orang-orang yang berkirsar 50-an tahun ke atas sungguh hal yang sangat baik untuk diikuti. Dari sisi agama umur di bawah 50 tahun apalagi mendekati 40 tahun, adalah puncak dari kematangan pola fikir berproduktif sebagaimana kepercayaan umat islam yang di alami oleh nabi Muhammad Saw.

Sebenarnya, ini adalah sebuah terobosan yang baik sekali dalam dinamika perpolitikan di indonesia yang selalu di isi oleh para politikus senior. Memang, pengalaman adalah hal penunjang dalam berpolitik agar bisa dikatakan politikus ulung. Namun ketika bermanuver dalam perhelatan politik indonesia, politikus senior cenderung mempunyai misi ganda bahkan lebih dalam merebut kekuasaan tersebut. Katakanlah mereka telah menjadi anggota dewan pada periode sebelumnya, ketika mencalonkan yang berikutnya bahkan yang ke seterusnya cenderung mempunyai ambisi lebih dari mengabdi kepada negara. Lebih disini dalam arti negatif, seperti mementingkan suatu golongan, individu, sanak keluarga dan teman karib yang telah membantunya pasca dilantiknya menjadi dewan atau jabatan tertentu lainnya.

Seyogyanya kita berfikir bahwa politik indonesia sampai hari ini masih membangun dogma primitif, yakni kekuasaan diperalat menjadi tujuan hidup demi kesuksesan yang di anggapnya. Dogma ini akan terus berkembang jika sistem politik indonesia tidak pernah dibahas dengan serius untuk di rubah pengelolaanya, walau SDM yang berkualitas selalu bermunculan namun ketika permasalahan yang di anggap lumrah ini di tutup dengan sebelah mata, maka mereka salah satu bagian dari bandit-bandit serakah akan kekuasan, walau dengan berdalih kepentingan lain juga patut di rumuskan.

Momentum Untuk Anak Muda yang Kritis Terhadap Perpolitikan di Indonesia

Angin segar dibawa melalui partai demokrat untuk kalangan anak muda yang berhawakan semangat dan berselimut kegalauan politik buruk indonesia, belakangan ini anak muda dinilai tidak fokus terhadap politik contohnya saja dalam hal memilih pemimpin. Beda ceritanya dengan pemuda/i yang aktif dan pasif pada pentas perpolitik tanah air, politik seakan sarapan pagi bagi mereka yang bernotabane mereka dari golongan aktivis dari kampus. Namun mereka yang khususnya mahasiswa diluar konteks politik, agaknya mulai terikut arus karena suatu terobosan besar yang tidak di duga oleh para pengamat tanah air terhadap yang dilakukan oleh ahli startegi dari cikeas. Walau tidak eksklusif mengikutinya namun pengetahuan akan dunia politik di domisilinya memberikan sinyal bahwa pemuda indoesia kini telah sadar dengan pentingnya untuk individu dan keluarga dalam menumbuh-kembangkan politik secara nasional maupun lokal. Sehingga hal-hal positif seperti memotivasi kaum muda dalam berpolitik mengurusi negeri, lambat laun akan muncul seiring menariknya perpolitikan sekarang. Lalu mengurangi golput juga suatu keharusan, dan tak ketinggalan lahirnya pemuda/i dalam pentas politik indonesia.

Refleksi Sejarah Reformasi Bangsa Indonesia
Indonesia telah melakukan perubahan besar yang terjadi pada tahun 1998, artinya bangsa ini telah berumur 17 tahun dalam hal mereformasi ketatanegaraan indonesia. Dengan usia semuran jagung kita masih perlu beberapa tahun lagi untuk menjadi negara yang benar-benar menganut paham demokrasi. Lihat amerika, butuh ratusan tahun agar bangsanya menjadi negara demokrasi yang sesuai dengan kriteria adat istiadat, keberagaman suku ras agamanya. Banyak perubahan-perubahan selama ratusan tahun tersebut sehingga telah mengalami 14 kali amandemen pada era rekontruksi, dampak dari perubahan / terobosan seperti ini hasil akhirnya menemukan suatu sistem yang tepat di wilayah itu sendiri.

Ketika reformasi pada tahun 1998, kita rakyat indonesia telah terlepas dari sistem orde lama yang bertemabesarkan tentang kekuasan di pergunakan untuk kepentingan sendiri serta keluarga, rakyat dan negara belakangan untuk difikirkan. Pada masa presiden Soeharto memang banyak sekali pembangunan yang diwujudkannya, maka wajar ia populer dengan sebutan bapak pembangunan, namun terlepas itu berapa banyak kasus korupsi yang diduga pemain tunggalnya ia sendiri bahkan anaknya yang sampai sekarang belum juga tuntas. Jadi, disini selain tugas jadi presiden dalam hal mengatur negara, hal pribadi dan keluarga telah menjadi nomor satu dalam segala hal dan kebijakannya.

Alhasil tepat sekali ketika Prof. Amien Rais beserta kawan-kawan pada waktu itu berhasrat untuk merubah bentuk ketataegaraan bangsa indonesia ke arah yang lebih demokratis dan sosial. Beberapa kebijakan yang jitu terbukti telah menghancurkan sistem lama yang sangat buruk tersebut. Salah satunya ialah membatasi periode presiden menjadi 2 priode dimana setiap priode berjarak hanya 5 tahun. Serta hierarki lembaga sekarang menjadi horizontal tidak seperti dahulu vertikal. Pemimpin tertinggi bukan lagi lembaga MPR, semuanya sejajar tetapi saling mengawasi.

Politik Itu Citra dan Strategi Berada di Dalamnya

Keberanian SBY mengusung anaknya juga tidak terlepas dari kemampuan Agus itu sendiri, melihat sisi akademisnya ia merupakan orang yang selalu berada di posisi terdepan maka inteletualnya tidak diragukan lagi apalagi di bidang militer. Dengan dasar seperti ini boleh jadi ketika berhadapan pesaingnya di panggung politik, sisi intelektual Agus akan semakin melejit seiring jiwa mudanya terus membakar rasa keraguan orang lain terhadapnya.

Berbicara masa depan maka hanya teoritis saja yang di ulas, perkembangan dan kejayan peran kaum muda belumlah meroket dengan para kaum senior. Namun contoh kongkrit dari peran kaum muda bisa dilihat dari kiprah Dr. Raden Marty Natalegawa tatkala dia satu-satunya yang bersikap abstain ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa sepakat menjatuhkan sanksi baru bagi Iran, terkait dengan masalah sengketa atom. Resolusi itu diambil lewat voting, dari 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB, 14 negara menyetujui, hanya Indonesia satu-satunyanya.

Mungkin menurut kita itu bukan idenya karena boleh jadi ada desakan desakan dari golongan tertentu, namun terlepas dari itu semua saya yakin dan percaya bahwa sifat anak muda -apa lagi ketika dia merasa yang paling muda di suatu forum- yakni berani mengambil sesuatu yang spektakuler namun terkesan inapiratif berbalut solusi, ketimbang para senior dengan kebijakannya seperti biasa pada sebelumnya dan cenderung monoton. Jadi saya pikir hidup ini penuh yang namanya terobosan. Kemudian dengan fenomena terjunnya anak muda ke panggung politik khususnya di pilgub DKI Jakarta 2017 mengisyaratkan momentum akan terwujudnya budaya reformasi politik yang baru, dimana kedepannya di dapatkan suatu sistem politik yang bersih, aman, tidak ada praktek ilegal dan secara definitif di sahkan sebagai landasan baru dalam berpacu di kancah politik indonesia.

Seperti sesuatu momentun akan bertumbuh-kembangnya perpolitikan indonesia menjadi lebih baik. Dimana anak muda yang hari ini secara aktif akan berdampak pada masa 20 ke depan, ketika itu mereka yang hebat di generasinya beralih posisi dari politisi menjadi pengamat atau akademis politik. Siklus seperti di atas sebenarnya harus difikirkan sejak sekarang, dan sangat mutlak bila selama ini politik indonesia cenderung di anggap buruk oleh kalangan ekonom, akademisi, para dokter, pengamat, pedagang, nelayan dan lain sebagainya akibat perencanaan yang kurang tepat. Lalu, bukan hanya sistem suatu program dari perpolitikan itu saja di bentuk dan dikembangkan oleh generasi penerus, tetapi juga wadah -politik indonesia- juga patut di sadari sebagai subyek yang ia juga tak luput dijadikan bahan riset untuk berangkatnya indonesia menuju generasi emas. Serta bukan hal yang tidak mungkin generasi muda yang tergolong minim dalam dunia politik ini bisa familiar dengan konsep politik seiring semaraknya pertunjukkan politik yang di bangun.

Meski saya mendukung adanya kaum muda berpolitik, namun tidak secara berbondong-bondong, sebab khawatir aspek lain juga membutuhkan peran kaum muda. Saya sangat mendukung sekali ketika para kaum muda digalakkan untuk berbisnis. Terlalu banyaknya politikus dan birokrat boleh jadi dengan di tambahnya pemikiran primitif bangsa indonesia akan lambat untuk maju akibat birokrasi yang berbelit yang berpunca dari jatah setiap pintu.

Bisnis dalam arti berdagang berkaitan erat dengan berpolitik, 2 hal ini selama ada makhluk maka akan berjalan. Namun yang lebih utama penerapan yang begitu penting ketimbang salah satunya adalah berbisnis. Bukankah dengan perekonomian yang stabil maka politikpun akan adem, jika sebaliknya maka bisa saja politik tersebut tidak ada pergerakan yang memadai hanya berada di zona aman.

Posting Komentar

0 Komentar