Nak Kemane ? Tak Ade...



TULISAN yang saya suguhkan tidaklah amat serius, namun cukup lumayan untuk dinikmati per kata-katanya. Ibarat kerupuk sibumatus yang murah disantap sangat sedap walau hanya dengan nasi putih. Tetapi jangan terkejut dengan gaya penulisan yang saya gunakan agak ke melayuan namun masih sejalur dengan kata-kata yang berada dalam kamus besar republik indonesia, Hal ini saya sengajakan karena agar tidak dikatakan plagiat. Perlu diketahui bahwa tema ini sebenarnya luas dan saya tidak akan membatasinya sebagaimana karya ilmiah seperti proposal penelitian, skripsi, tesis, dan sebagainya. Jika mempunyai opini, saran atau kritikan yang membangun silahkan letakkan di bawah agar kesannya kita-mahasiswa-ataupun masyarakat karimun kini tidak begitu apatis. Baiklah, agar tidak memperpanjang mukadimah langsung saja kita membahasnya.

Pendidikan pada hakekatnya merupakan kebutuhan disetiap orang, dengan adanya pendidikan dunia akan terasa aman, tentram yang disebabkan semua orang menjadi cerdas (IQ), pintar dan pandai dalam hidup bersosial serta tidak akan pernah ada peperangan yang akan memakan biaya (iwan fals-pesawat tempur). terlepas dari semua itu, kata pintar/cerdas tidak bisa menjamin kesuksesan hidup seseorang akan tetapi harus didukung beberapa faktor seperti kecerdasan perasaan (EQ) dan kecerdasan spritual (SQ).

Sangat riskan bila pendidikan di negeri ini khususnya di bumi berazam masih terdapat siswa-siswi yang tidak bisa bersekolah hanya karena kurang biaya, bukankah pemerintah sekarang ini telah memiliki program wajib sekolah 12 tahun. Agaknya hal ini bukanlah yang menjadi penyebabnya siswa-siswi kabupaten karimun tidak bersekolah. Ada faktor lain yang di khawatirkan akan menjalar ke masyarkat luas bak virus H1N1 yang mematikan. Saya menduga fenomena ini disengajakan karena pengaruh orang tua itu sendiri, sebuah paradigma bahwa "tamat sekolah langsung kerja" telah tertanam di benak anak mereka sewaktu masih mengantar pergi sekolah hingga anaknya bisa bersekolah dengan sendiri.

Alih-alih mendambakan sebuah pekerjaan baik yang diwariskan oleh orang tuanya, dengan rasa jiwa muda yang membara mereka para pelajar pun tidak tahan lagi untuk menunggu lama-lama dalam belajar dan bosan dengan keadaan semacam demikian. Akhirnya banyak anak-anak di kampung lendot ini yang tidak tuntas mengenyam pendidikan sesuai regulasi yang diberikan pemerintah. Seyogyanya peran orang tua adalah menyemangati kepada anaknya agar bersekolah yang tinggi agar dapat merubah nasib keluarga. Namun kenyataannya sedikit metode yang diberikan seperti ini, tetapi tidak menutup kemungkinan sebaliknya karena saya sebagai penulis hanya melihat hasil akhirnya dengan hanya mendikte di kulit tanpa memasuki ke dalam-wawancara, suvei, dan sebagainya.

Baca Juga : KARIMUN Menuju Perubahan

Terkadang saya miris melihat sebuah ungkapan yang sudah menjadi tabu di hadapan khalayak. Harapan saya pastinya sama dengan pemerintah untuk menghapus dan menenggelamkan kata-kata pesimis terlebih guyonan-guyonan yang tidak bermutu tersebut, supaya terbentuknya anak-anak karimun yang cerdas di segala bidang. Nasi sudah menjadi bubur saya pun hanya bisa berharap dari tulisan ini walau tidak banyak. Seandainya saya seorang Bupati masalah ini akan saya ketengahkan di hadapan para dewan-dewan yang bijak. Terbesit di kepala bahwa teman saya selalu mengatakan bahwa cita-cita yang saya harapkan tadi dikatakan hanya sebuah mimpi, tetapi teman disebelahnya mengatakan dengan kata amin. jadilah perasaan saya bercampur aduk antarara rawit dan gula merah (rujak), diskusi ini terjadi pada sela-sela jam istirahat kami yang sungguh melelahkan karena ulah superviosor yang sok memerintah.

Ets.. satu lagi yang saya ingin sampaikan kepada teman-teman yang saya kira sungguh-sungguh amat penting untuk dipahami, ada semboyan yang selalu melakat pada anak-anak SMA se-derajat yang tidak ada niat untuk meneruskan jenjang yang berikutnya, "Buat apa kuliah? S1 aja masih banyak yang menganggur". Saya katakan lagi bahwa ini bukan salah yang orang mengucap semboyan tersebut, bukan juga salah orang tuanya, tetapi salah objek itu sendiri yakni mahasiswa strata 1. Dia tidak mampu mengoptimalkan atau mempertanggung-jawabkan kemampuan akademiknya yang dikarenakan daya kemampuan -IQ- yang kurang sewaktu kuliah dahulu, sehingga proses mencari kerjanya tersendat yang diakibatkan masa lalu tersebut. Lalu timbul pertanyaan bagaimana dengan Mahasiswa yang cerdas, rajin, IPK-nya tinggi tapi tidak juga mendapatkan pekerjaan, nah itu kembali lagi pada yang di atas. dimana kita harus meyakini bahwa adanya keterlibatan campur tangan Tuhan. Jadi solusi terbaik yang saya rujuk dari berbagai sumber ilmu agama adalah selalu bersyukur yang disertai tawakal dan pecaya seyakin-yakinnya bahwa tuhan akan selalu menolong kepada umatnya.

INGAT! : Tuhan tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. 

Posting Komentar

0 Komentar