Negeri Tanpa Raja

Kampus Universitas Karimun
Pemerintah kita telah dewasa menyikapi birokrasi indonesia dalam menangani mekanisme trias politica (eksekutif, legislatif dan yudikatif), regulasi yang ada sudah baik dari yang diharapkan oleh pendahulu negeri ini. Namun penataannya masih kurang dari hasil dampak untuk pengimplementasinya.

Negeri ini bukan hanya sekedar negara yang menangani rakyat di dalamnya, banyak sekali problematika yang harus di kedepankan dalam sebuah agenda khusus. Salah satunya tingkah laku dalam menyikapi sistem yang diberikan oleh petinggi birokrat. Biasanya sikap yang diberikan selalu berbeda menurut tempat dan keadaan yang sedang berlangsung. Sementara itu, pimpinan lembaga yang cenderung menjadi objek. Sangat begitu vital dalam mempengaruhi tipikal seseorang untuk menyikapi persoalan yang hangat dan sulit. Jika proses yang tak kunjung selesai maka pemimpin menjadi tumbal moral dalam keinstitusiannya.

Di dalam negara terdapat negara-negara kecil yang di pimpin oleh orang-orang yang berasal dari prodi/jurusan dan berbagai latar belakang, layaknya sebuah negara pastinya memiliki struktur yang memiliki fungsinya masing-masing. Bukan DPR, DPD dan DPRD yang di maksud. Semua itu hanya kiasan untuk melambangkan sebuah negara dalam kampus. Badan eksekutif yang di pimpin oleh presiden BEM harus mempunyai kualifikasi serta jejak rekam yang notabane berjiwa intelek, relegius, sosial, kritis dan berfikir secara visioner demi terwujudnya kegiatan kemahasiswaan di kampus. Untuk mencari kemampuan seseorang lengkap seperti itu cukup sulit ditemukan, tetapi kriteria kesadaran akan tingkat keberhasilan dalam memimpin harus ada sebagaimana dalam ucapan sumpah jabatan. Mundur ketika gagal dan lanjut terus ketika dipandang bagus.

Nah jika sudah memiliki negara dan pemimpin intitusi di kampus maka tidak mungkin mahasiswa lain dan utusan mahasiswa tidak ikut berperan dalam menangani nasib kedepannya kampus tersebut. Sekali lagi negara yang saya sebut patut kita pahami sebuah negara kecil yang berdemokrasi, ialah  dalam ruang lingkup universitas. Jadi berdemokrasi di dalam kampus harus ada yang namanya lembaga legislatif (Badan legislatif Mahasiswa), lembaga eksekutif (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan sebagainya sesuai statuta yang ada.

Istilah demokrasi yang selalu di agungkan di negara republik pantas di ikuti oleh setiap organisasi kampus di indonesia dalam memutuskan mufakat, perbedaannya hanya dalam segi kuantitas. Namun dari aspek kualitas badan legislatif, eksekutif, yudikatif dan rakyatnya harus sama rata walau masih dalam tahap pengembangan. Demi tujuan tersebut perlu dipandang lagi peranan kampus dalam menfasilitasi kegiatan kemahasiswaan tersebut. Bukan tidak mungkin dalam perekrutan mahasiswa baru bisa dijadikan modal dalam kegiatan kemahasiswaan, caranya dengan uang pendaftaran yang ada sebagian di alokasikan ke kegiatan kemahasiswaan. Lalu dalam penentuan anggaran untuk kegiatan di atur oleh Badan Legislatif Mahasiswa (BLM). Tetapi kenyataan yang ada hanyalah buaian belaka, seperti menelan air liur ketika menuntut dana kemahasiswaan diungkit dengan persentase seberapa banyak mahasiswa yang belum membayar uang semester. Riskan sekali bukan?!.

Ingin menjadi apa kampus kita bila semua organisasi vakum dari kegiatan kemahasiswaan ?? Masihkah ingin berlanjut seperti ini dan terus apatis ? Atau yang lebih logika lagi kita adakan sebuah upaya untuk mendesak, merubah, mengganti, merombak kepemimpinan sekarang yang bertujuan selain regenerasi juga kefektifan dalam menemukan titik temu.

Seyogyanya harus ada gebrakan untuk membuka cakrawala para rakyat kita atau mahasiswa lain yang selama ini kita kenal apatis terhadap kegiatan kemahasiswaan, barang kali itu yang menjadi dasar enggannya orang kuat kampus dalam menyumbangkan kewajibannya. Namun tidak bisa seperti itu bila ingin memajukan kampus ini, semua tentu harus ada yang namanya pengorbanan dalam bentuk materi.

Akhirnya pesimislah yang menjadi akhir dari segala persoalan di kampus, semangat pelantikan, agenda besar, jiwa yang kritis, telah sirna akibat realita yang ada. Semuanya pupus dan meninggalkan kesan yang buruk di rakyat/mahasiswa lain atas gaya kepemimpinan dari hasil akhirnya.
Kembali lagi pada tulisan awal, ibarat pertandingan sepak bola. Tipikal mahasiswa Universitas Karimun hari ini telah mengikuti irama musuh abadinya, bukan jin atau setan tapi rasa pesimis. Berakibat berakhirnya institusi internal kampus, BEM UK yang di banggakan.

Maaf jika tulisan ini terlalu berat untuk dicerna, karena menurut saya mahasiswa perlu juga membaca tulisan yang berupa fakta bukan sekedar opini. Jika tulisan ini lebih ke arah membangun semangat terlebih memotivasi mahasiswa khususnya mahasiswa Universitas Karimun maka fikirkanlah baik-baik apa yang harus dilakukan demi kemajuan kampus kita. Dan jika menurut kalian ini hanya ocehan dari ketidaksenangan terhadap pucuk pimpinan kampus maka anda telah salah dalam menyikapi pemahaman penulis. Sebab ini semua dari mahasiswa oleh mahasiswa dan untuk mahasiswa.

Baca juga : Skripsi Di Tiadakan Suatu KemunduranSeluk Beluk 3 Organisasi Mahasiswa Di Universitas Karimun

Posting Komentar

0 Komentar