Siapa Penggagas Niat ? Mari Kita Kembali Ke Fitrah Sebelum Fitri Menjelang


Assalamualaikum wr.wb

Banyak berita gunjingan pemuda kini yang membahas masalah niat, baik itu niat sholat, puasa, haji, dan ibadah lainnya. Sebelum ramadhan tiba sebaiknya kita pelajari dulu bersama-sama apa makna niat dari pendapat ulama dulu.

Ibn Abi Izz Al Hanafi berkata : “Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz niat. Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati. Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullahu berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62)

Ibn Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali.

 Beliau juga tidak mengucapkan:
“ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman (artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).

Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam Syafi’I radhiallahu anhu didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai berikut:

“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa. Tidak ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR. ”Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat. Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini adalah TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’I mensunahkan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shahabatnya. Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada seseorang membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau,maka kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma’aad I/201;Ighatsatul Lahfaan I/136-139;I’laamul Muwaqqi’iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]

Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri [2] berkata : “Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunnah,tidak pula dari ijma’ dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam segala amalan, yaitu hadist beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”

Maksudnya bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan : “Sengaja aku berpuasa di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan” dan mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.

Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama salaf, sebagai orang-orang yg mengerti dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka adalah para mufassirin(penafsir) makna ayat qur’an maupun hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).
Hakekat Niat

Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar kesepakatan para imam Muslimin dalam semua ibadah : bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad dan yang lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belu mencukupi menurut kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang tetap.

Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa : “Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tidak ada sangku pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah diberitakan dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam , begitu juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini.” [3]

Sedangkan hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi kadang-kdang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah. [4]

Posting Komentar

0 Komentar